Hukum Bacaan Al Qur'an untuk Mayit
Oleh : Himmaty Alimatun Nafi'ah
NIM : 201410020311013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada hakikatnya membaca Al Qur’an adalah salah satu Ibadah yang
mulia. Namun apabila dikaitkan dengan kata “Mayit” atau orang yang sudah
meninggal, menjadi pembahasan yang berbeda baik berupa hukum dan ada tidaknya
nilai pahala yang bermanfaat bagi si Mayit.
Berbicara seputar fakta yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat,
ibadah ini sangat sering dikerjakan, baik secara individu maupun secara
berjama’ah. Hal ini identik dikatakan sebagai suatu rangkaian kegiatan do’a yang
diselenggarakan dalam rangka mendo’akan keluarga yang telah meninggal dengan
niat mengirimkan pahala kepada Mayit. Hal ini menjadikan perbedaan pendapat
dikalangan masyarakat baik yang membolehkan dan yang tidak membolehkannya.
Padahal tidak jarang ditemukan kaum muslim yang menjalankan suatu
ibadah tanpa mengetahui pasti dasar hukum atau dalil yang kuat dari apa yang
dikerjakannya. Termasuk Hukum bacaan Al Qur’an untuk orang yang telah meninggal
yang hingga kini tetap menjadi masalah khilafiyah dikalangan masyarakat muslim.
Dalam menanggapi masalah khilafiyah ini, yang harus kita lakukan
adalah melihat dalil-dalil dari kedua pendapat yang berbeda tersebut. Karena
dalam permasalahan khilafiyah ini, kita tidak boleh berhujjah dengan pendapat
ulama saja atau sekedar mengikuti budaya masyarakat sekitar, melainkan harus
berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
hukum bacaan Al Qur’an bagi Mayit?
2.
Apa
yang menjadi dasar tidak mbolehkannya Bacaan Al Qur’an untuk Mayit?
3.
Apa
yang menjadi dasar dibolehkannya Bacaan Al Qur’an untuk Mayit?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
hukum bacaan Al Qur’an bagi Mayit.
2.
Mengeahui
faham yang menjadi dasar tidak dibolehkannya atau menolak Bacaan Al Qur’an
untuk Mayit.
3.
Mengetahui
faham yang menjadi dasar dibolehkannya Bacaan Al Qur’an untuk Mayit.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Bacaan Al Qur’an untuk Mayit
Secara garis besar terbagi dengan paham yang “Pro dan Kontra”.
Dimana terdapat sebagian Ulama beserta masyarakat lainnya yang tidak menyetujui
hal ini dikarenakan tidak adanya dalil yang memerintahkan dan menyatakan
Rasulullah pernah melakukanya, bahkan membaca Al Qur’an untuk Mayit dengan niat
mengirimkan pahala kepada Mayit tersebut adalah hal yang baru, dan termasuk
dalam kategori bid’ah.
Menurut sebagian pendapat ulama yang membolehkan hal ini meyakini
akan sampainya pahala yang dikirimkan kepada orang yang telah meninggal.
Sedangkan menurut sebagian kalangan lainnya sepakat bahwa membaca Al Qur’an
serta bershadaqah yang dikirimkan kepada orang yang telah meninggal tidak akan
sampai.
Perbedaan pendapat seputar bacaan Al Qur’an untuk orang yang sudah
meninggal ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap ayat Al
Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan
hal tersebut serta berbedanya metodologi pengistimbathan suatu hukum dari
amalan tersebut. Berikut dasar-dasar penerimaan dan penolakan tentang bacaan Al
Qur’an untuk Mayit.
B.
Dasar Pemahaman yang Menolak Bacaan Al Qur’an untuk Mayit
Menolak disini bukan dalam artian menolak bacaan atau mebaca Al
Qur’an, karena sudah jelas bahwa Al Qur’an adalah kalamullah yang sempurna,
membaca dan memperdalaminya dinilai sebagai suatu ibadah yang mulia. Namun
esensi pokok dari bacaan Al Qur’an ini dikatakan tertolak atau menjadi hal yang
bid’ah karena memiliki unsur pengkhususan yaitu “Pahalanya diperuntukkan untuk
Mayit”. Penolakan tersebut didasari dengan beberapa argumentasi yang cukup kuat
sebagai landasan hukum membaca Al Qur’an bagi Mayit.
Argumen pertama, bahwa
membaca Al Qur’an untuk Mayit tidak ada tuntunannya dalam Al Qur’an maupun
hadits Rasul. Jika tidak ada dasar tuntunan dari suatu masalah, maka yang harus
dijadikan landasan adalah sabda Rasul yang artinya :
“Barangsiapa
yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk
melakukannya maka hukumnya tertolak.” (HR.
Muslim dan Ahmad)
Sementara itu
hadits yang secara jelas menegaskan amalan yang bermanfaat untuk mayit disebutkan
di dalam hadits shahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi SAW.
bersabda:
إِذَا
مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِح يَدْعُولَهُ
"Apabila
manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga
perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang
mendoakannya".(HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)
Bacaan Al Qur’an untuk Mayit biasanya dilakukan dikalangan
masyarakat saat berziarah kubur, padahal Nabi SAW tidak pernah melakukannya.
Sebagaimana Diriwayatkan bahwa Nabi saw melakukan ziarah kubur dan berdoa untuk
para mayit dengan doa-doa yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya, dan
mereka mempelajarinya dari beliau SAW, diantaranya adalah:
السَّلاَمُ عَلَيكم أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
Artinya : "Semoga kesejahteraan
tercurah kepada kaum mukminin dan muslimin penghuni negeri (kuburan ini).
Sesungguhnya kami –insya Allah menyusul kalian. Kami memohon afiyat untuk kami
dan kamu."[1]
Dan tidak
diriwayatkan bahwa beliau saw membaca salah satu surah al Qur`an, atau beberapa
ayat darinya untuk para mayit, padahal beliau saw sangat sering melakukan
ziarah kubur. Jika hal itu disyari'atkan tentu beliau melakukannya dan
menjelaskannya kepada para sahabatnya, karena ingin mendapatkan pahala dan
sayang kepada umat, serta menunaikan kewajiban menyampaikan.
Dalam Fiqh
Ikhtilaf NU-Muhammadiyah membahas sebuah artikel yang bersumber dari MTA online
yang menyebutkan dalil aqli berupa sejarah Nabi Muhammad SAW selama hidupnya
pernah mendapat musibah yaitu kematian Istri tercintanya (Khadijah), kematian
paman dan sahabat-sahabat nabi. Namun beliau tidak pernah melakukan peringatan
atas kematian ataupun mengirimkan pahala dari bacaan Al Qur’an untuk
orang-orang yang telah meninggal, walaupun itu adalah orang yang dicintainya.
Sama
halnya dengan Rasulullah, para Khulafaurrasyidin pun tidak pernah melakukan
peringatan kematian ataupun mengirimkan bacaan Al Qur’an bagi Mayit bahkan
sekalipun Rasulullah yang wafat. Dengan demikian secara jelas dapat difahami
bahwa mengirim bacaan Al Qur’an untuk Mayit bukanlah ajaran Islam yang telah
diajarkan Nabi ataupun sahabat.
Argumen kedua, dasar penolakan atas
bacaan Al Qur’an atau pengiriman pahala dengan bacaan Al Qur’an untuk Mayit
dikuatkan dengan beberapa dalil-dalil Al Qur’an dalam surat An-Najm: 39,
At-Thur: 21, Al An’am: 164, Al Baqarah: 286 yang pada intinya menerangkan bahwa
manusia hanya akan mendapatkan dari apa yang telah ia kerjakan sendiri.
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan kami tiada mengurangi
sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52):
21]
قُلْ أَغَيْرَ ٱللَّهِ
أَبْغِى رَبًّۭا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَىْءٍۢ ۚ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌۭ
وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا
كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain
Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang
membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan". [Al- An’am (6): 164]
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن
نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًۭا كَمَا
حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا
طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ
مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".[QS: Al Baqoroh (2): 286]
Intisari
yang terkandung dalam dalil-dalil tersebut dikuatkan lagi dengan pendapat Imam
Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah dalam Al Umm juz 7, hal 269
mengatakan : “Mayit tidak boleh dibacakan apapun,berdasarkan keterangan yang
mtlak dari ulama mutaqadimin,bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkankepada
mayit) tidak dapat sampai kepadanya”. Sedang dalam Al Um Imam Syafi’i
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memberitakan sebagaimana yang diberitakan
Allah, bahwa dosa seorang akan menimpa dirinya sendiri, sepreti halnya amalnya
adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat
dikirimkankepada orang lain.[2]
C.
Pendapat yang membolehkan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit
Pada
dasarnya Bacaan Al Qur’an dengan niat pahalanya dikirimkan untuk Mayit sama
sekali tidak dipaparkan secara kontekstual baik dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Akan tetapi sebagian kalangan masyarakat muslim yang mengamalkan hal ini
menyamakan dasar dibolehkannya bacaan Al Qur’an untuk Mayit seperti
dibolehkannya sedekah yang dilakukan orang yang masih hidup untuk orang atau
anggota keluarganya yang telah meninggal. Sebagaimana dalam Hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a berkata :
عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا أنَّ رَجُلاً أتَى النَّبِى.صَ. وَقَالَ: إنَّ أمِّى
افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَم تُو ص وَأظُنُّهَا لَو تَكَلَّمت تَصَدَّقَتْ اَفَلهَا اَجْر إنْ تَصَدَّقْتُ
عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ
‘Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata: Ibuku telah mati
mendadak, dan tidak berwasiat dan saya kira sekiranya ia sempat bicara, pasti
akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika Aku bersedekah untuknya? Jawab
Nabi saw: Ya.’ (HR.Bukhori, Muslim
dan Nasa’i)
Selain itu, terdapat beberapa hadits yang berkaitan
dengan dibolehkannya Membaca Al Qur’an untuk Mayit sebagai suatu amalan yang
bermanfaat bagi Mayit tersebut. Namun hadits-hadits tersebut tidak mengandung
keshahihan hukum yang pasti.
1.
Hadits tentang wasiat
ibnu umar
Dalam syarah aqidah
Thahawiyah Hal 458 : “ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau
berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat
albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya
pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padahal Imam
Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari
orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari
orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut
pengingkarannya itu.[3]
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad
bin Hambal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap
kebajikan karena ada nash-nash yang datang padanya dan juga karena kaum
muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri,
mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah
meninggal, maka jadialah ia ijma.[4]
2. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“Barangsiapa melewati
pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian
menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu),
maka ia akan diberi pahala sebanyak mayat yang ada disitu”.[5]
Hadits tersebut secara jelas menerangkan anjuran
untuk membacakan ayat Al Qur’an untuk Mayit saat melewati perkuburan. Akan
tetapi hadits tersebut adalah hadits yang palsu, berasal dari naskah
Abdullah bin Ahmad bin ‘Amir dari ayahnya dari Ali Ar Ridla dari ayah-ayahnya,
dipalsukan oleh Abdullah atau ayahnya sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi
dalam Mizanul I’tidal, dan diikuti oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam Lisanul Mizan (3/252), juga As-Suyuthi dalam Dzail
Al Ahadits Al Maudlu’ah dan beliau menyebutkan hadits ini, dan diiku
ti juga oleh Ibnu ‘Arraaq dalamTanzih Asy Syari’atil Marfu’ah.
(Lihat Ahkaam Janaiz, hal 245).
3. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Dari
jalan Yahya bin Abdullah Al-Babalti dari Ayyub bin Nahik Al-Halabi dari ‘Atha
bin Abi Rabah dari Ibnu Umar Bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Apabila
seseorang dari kamu meninggal, maka janganlah ditahan, dan bersegeralah untuk
dikuburkan, dan bacakan di sisi kepalanya Al-Fatihah dan di sisi kakinya akhir
surat Al-Baqarah dikuburnya”.[6]
Hadits diatas
merupakan hadits yang sangat lemah, karena di dalamnya
terdapat dua perawi yang lemah, yang pertama adalah Yahya bin Abdullah
Al-Babalti, ia perawi yang lemah. Al Azdi berkata, “Kelemahan padanya sangat
jelas”. Dan Abu Hatim berkata, “Tidak dianggap”. (Al-Mughni fi Dlu’afa, 2/739).
Dan yang kedua adalah Ayyub bin Nahiik Al Halabi ia dianggap lemah oleh Abu
Hatim, dan Al Azdi berkata, “Matruk”. Dan Ibnu Hibban menyebutkannya
dalam Ats-Tsiqat dan berkata: “Yukhti (suka salah)”. (Lisanul
Mizan,1/490).
4. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’i, Ahmad dan ibnu Hibban
حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَال : قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ
يَعْنِي يس
“Telah menceritakan kepada kami 'Arim, telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Mubarak, telah menceritakan kepada kami At Taimi dari Abu 'Utsman,
bukan An Nahdi dari Ayahnya dari Ma'qil bin Yasar ia berkata; Rasulullah
Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacakanlah kepada orang-orang yang
meninggal diantara kalian yaitu surat Yaasiin."
Banyak hadits yang berkenaan tentang hal ini, meskipun semuanya
adalah hadits dhaif (lemah), sebagaimana yang dikatakan Imam Al Hafidz As
Suyuthi rahhimahullah. Akan tetapi
hadis-hadis dhaif dapat dijadikan pegangan amal-amal kebajikan. Dan semua itu
termasuk amal-amal kebajikan (Fadhailul a’mal).[7]
Menurut kalangan masyarakat muslim yang mengamalkan Bacaan Al
Qur’an untuk Mayit juga melandaskan pemahamannya pada dalil Al Qur’an yang
menganggap bacaan Al Qur’an juga dikatakan sebagai do’a dan adanya dalil
yang berisi do’a untuk kaum musimin yang
telah meninggal yang telah mendahului mereka yang masih hidup.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ
لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang yang
datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami,
beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu
daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
فَٱعْلَمْ
أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَىٰكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
tinggalmu”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum bacaan Al Qur’an
bagi Mayit. Perbedaan pendapat seputar bacaan Al
Qur’an untuk orang yang sudah meninggal ini terjadi karena adanya perbedaan
penafsiran terhadap ayat Al Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan hal tersebut serta
berbedanya metodologi pengistimbathan suatu hukum dari amalan tersebut.
Sebenarnya dalil yang digunakan kedua faham tersebut adalah sama, namun dalam
pemahaman lebih luas, keduanya berbeda pendapat. Kalaupun ada hadits yang
menyatakan dibolehkannya bacaan Al Qur’an bagi Mayit itu adalah hadits yang
dha’if, tetapi sebagian ulama membolehkannya sebagai bagian dari amal kebajikan
(Fadhailul A’mal).
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya baik melalui dasar Al Qur’an dan Hadits, dapat
disimpulkan bahwa dalil yang paling kuat adalah yang menyatakan tidak
dibolehkannya bacaan Al Qur’an bagi Mayit karena Seseoeang hanya akan
memperoleh dari apa yang telah ia kerjakan, bahkan Rasulullah dan para sahabat
tidak melakukannya dan tidak termasuk dalam ajaran islam. Wallahu a'lamu bisshowaab.
DAFTAR PUSTAKA
Allamah Sayyid Abdullah Haddad (1993), Renungan Umur Manusia, Bandung : Mizan
Amin Nugroho, M. Yusuf (2012) Fiqh Khilafiyah NU –
Muhammadiyah : Seputar Tahlil.pdf.
As Suyuthi, Imam Jalaludin (1999), 400 hadits
Keutamaan Amal Beserta Penjelasannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Efendi, Sofyan. HaditsWeb 5.0 “Kumpulan
dan Referensi Belajar Hadits” 2006
Ubaidillah, Tahlilan dan Selamatan menurut Madzhab
Syafi'i, Bangil: Pustaka Abdul Muis.