Minggu, 04 Januari 2015




Hukum Bacaan Al Qur'an untuk Mayit
Oleh : Himmaty Alimatun Nafi'ah
NIM : 201410020311013


 BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Pada hakikatnya membaca Al Qur’an adalah salah satu Ibadah yang mulia. Namun apabila dikaitkan dengan kata “Mayit” atau orang yang sudah meninggal, menjadi pembahasan yang berbeda baik berupa hukum dan ada tidaknya nilai pahala yang bermanfaat bagi si Mayit.
Berbicara seputar fakta yang terjadi ditengah kehidupan masyarakat, ibadah ini sangat sering dikerjakan, baik secara individu maupun secara berjama’ah. Hal ini identik dikatakan sebagai suatu rangkaian kegiatan do’a yang diselenggarakan dalam rangka mendo’akan keluarga yang telah meninggal dengan niat mengirimkan pahala kepada Mayit. Hal ini menjadikan perbedaan pendapat dikalangan masyarakat baik yang membolehkan dan yang tidak membolehkannya.
Padahal tidak jarang ditemukan kaum muslim yang menjalankan suatu ibadah tanpa mengetahui pasti dasar hukum atau dalil yang kuat dari apa yang dikerjakannya. Termasuk Hukum bacaan Al Qur’an untuk orang yang telah meninggal yang hingga kini tetap menjadi masalah khilafiyah dikalangan masyarakat muslim.
Dalam menanggapi masalah khilafiyah ini, yang harus kita lakukan adalah melihat dalil-dalil dari kedua pendapat yang berbeda tersebut. Karena dalam permasalahan khilafiyah ini, kita tidak boleh berhujjah dengan pendapat ulama saja atau sekedar mengikuti budaya masyarakat sekitar, melainkan harus berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana hukum bacaan Al Qur’an bagi Mayit?
2.         Apa yang menjadi dasar tidak mbolehkannya Bacaan Al Qur’an untuk Mayit?
3.         Apa yang menjadi dasar dibolehkannya Bacaan Al Qur’an untuk Mayit?

C.       Tujuan
1.         Mengetahui hukum bacaan Al Qur’an bagi Mayit.
2.         Mengeahui faham yang menjadi dasar tidak dibolehkannya atau menolak Bacaan Al Qur’an untuk Mayit.
3.         Mengetahui faham yang menjadi dasar dibolehkannya Bacaan Al Qur’an untuk Mayit.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Bacaan Al Qur’an untuk Mayit
Secara garis besar terbagi dengan paham yang “Pro dan Kontra”. Dimana terdapat sebagian Ulama beserta masyarakat lainnya yang tidak menyetujui hal ini dikarenakan tidak adanya dalil yang memerintahkan dan menyatakan Rasulullah pernah melakukanya, bahkan membaca Al Qur’an untuk Mayit dengan niat mengirimkan pahala kepada Mayit tersebut adalah hal yang baru, dan termasuk dalam kategori bid’ah.
Menurut sebagian pendapat ulama yang membolehkan hal ini meyakini akan sampainya pahala yang dikirimkan kepada orang yang telah meninggal. Sedangkan menurut sebagian kalangan lainnya sepakat bahwa membaca Al Qur’an serta bershadaqah yang dikirimkan kepada orang yang telah meninggal tidak akan sampai.
Perbedaan pendapat seputar bacaan Al Qur’an untuk orang yang sudah meninggal ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap ayat Al Qur’an dan hadits yang  berkaitan dengan hal tersebut serta berbedanya metodologi pengistimbathan suatu hukum dari amalan tersebut. Berikut dasar-dasar penerimaan dan penolakan tentang bacaan Al Qur’an untuk Mayit.

B.     Dasar Pemahaman yang Menolak Bacaan Al Qur’an untuk Mayit
Menolak disini bukan dalam artian menolak bacaan atau mebaca Al Qur’an, karena sudah jelas bahwa Al Qur’an adalah kalamullah yang sempurna, membaca dan memperdalaminya dinilai sebagai suatu ibadah yang mulia. Namun esensi pokok dari bacaan Al Qur’an ini dikatakan tertolak atau menjadi hal yang bid’ah karena memiliki unsur pengkhususan yaitu “Pahalanya diperuntukkan untuk Mayit”. Penolakan tersebut didasari dengan beberapa argumentasi yang cukup kuat sebagai landasan hukum membaca Al Qur’an bagi Mayit.
Argumen pertama, bahwa membaca Al Qur’an untuk Mayit tidak ada tuntunannya dalam Al Qur’an maupun hadits Rasul. Jika tidak ada dasar tuntunan dari suatu masalah, maka yang harus dijadikan landasan adalah sabda Rasul yang artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya maka hukumnya tertolak.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Sementara itu hadits yang secara jelas menegaskan amalan yang bermanfaat untuk mayit disebutkan di dalam hadits shahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi SAW. bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِح يَدْعُولَهُ
"Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya".(HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)
Bacaan Al Qur’an untuk Mayit biasanya dilakukan dikalangan masyarakat saat berziarah kubur, padahal Nabi SAW tidak pernah melakukannya. Sebagaimana Diriwayatkan bahwa Nabi saw melakukan ziarah kubur dan berdoa untuk para mayit dengan doa-doa yang beliau ajarkan kepada para sahabatnya, dan mereka mempelajarinya dari beliau SAW, diantaranya adalah:
السَّلاَمُ عَلَيكم أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
Artinya : "Semoga kesejahteraan tercurah kepada kaum mukminin dan muslimin penghuni negeri (kuburan ini). Sesungguhnya kami –insya Allah menyusul kalian. Kami memohon afiyat untuk kami dan kamu."[1]
Dan tidak diriwayatkan bahwa beliau saw membaca salah satu surah al Qur`an, atau beberapa ayat darinya untuk para mayit, padahal beliau saw sangat sering melakukan ziarah kubur. Jika hal itu disyari'atkan tentu beliau melakukannya dan menjelaskannya kepada para sahabatnya, karena ingin mendapatkan pahala dan sayang kepada umat, serta menunaikan kewajiban menyampaikan.
Dalam Fiqh Ikhtilaf NU-Muhammadiyah membahas sebuah artikel yang bersumber dari MTA online yang menyebutkan dalil aqli berupa sejarah Nabi Muhammad SAW selama hidupnya pernah mendapat musibah yaitu kematian Istri tercintanya (Khadijah), kematian paman dan sahabat-sahabat nabi. Namun beliau tidak pernah melakukan peringatan atas kematian ataupun mengirimkan pahala dari bacaan Al Qur’an untuk orang-orang yang telah meninggal, walaupun itu adalah orang yang dicintainya.
Sama halnya dengan Rasulullah, para Khulafaurrasyidin pun tidak pernah melakukan peringatan kematian ataupun mengirimkan bacaan Al Qur’an bagi Mayit bahkan sekalipun Rasulullah yang wafat. Dengan demikian secara jelas dapat difahami bahwa mengirim bacaan Al Qur’an untuk Mayit bukanlah ajaran Islam yang telah diajarkan Nabi ataupun sahabat.
 Argumen kedua, dasar penolakan atas bacaan Al Qur’an atau pengiriman pahala dengan bacaan Al Qur’an untuk Mayit dikuatkan dengan beberapa dalil-dalil Al Qur’an dalam surat An-Najm: 39, At-Thur: 21, Al An’am: 164, Al Baqarah: 286 yang pada intinya menerangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan dari apa yang telah ia kerjakan sendiri.
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]

قُلْ أَغَيْرَ ٱللَّهِ أَبْغِى رَبًّۭا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَىْءٍۢ ۚ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌۭ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan". [Al- An’am (6): 164]

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًۭا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".[QS: Al Baqoroh (2): 286]

Intisari yang terkandung dalam dalil-dalil tersebut dikuatkan lagi dengan pendapat Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah dalam Al Umm juz 7, hal 269 mengatakan : “Mayit tidak boleh dibacakan apapun,berdasarkan keterangan yang mtlak dari ulama mutaqadimin,bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkankepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya”. Sedang dalam Al Um Imam Syafi’i menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memberitakan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa dosa seorang akan menimpa dirinya sendiri, sepreti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkankepada orang lain.[2]

C.  Pendapat yang membolehkan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit
Pada dasarnya Bacaan Al Qur’an dengan niat pahalanya dikirimkan untuk Mayit sama sekali tidak dipaparkan secara kontekstual baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Akan tetapi sebagian kalangan masyarakat muslim yang mengamalkan hal ini menyamakan dasar dibolehkannya bacaan Al Qur’an untuk Mayit seperti dibolehkannya sedekah yang dilakukan orang yang masih hidup untuk orang atau anggota keluarganya yang telah meninggal. Sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a berkata :
عَنِ عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا أنَّ رَجُلاً أتَى النَّبِى.صَ. وَقَالَ: إنَّ أمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَم تُو ص وَأظُنُّهَا لَو تَكَلَّمت تَصَدَّقَتْ اَفَلهَا اَجْر إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ
‘Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata: Ibuku telah mati mendadak, dan tidak berwasiat dan saya kira sekiranya ia sempat bicara, pasti akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika Aku bersedekah untuknya? Jawab Nabi saw: Ya.’ (HR.Bukhori, Muslim dan Nasa’i)

 Selain itu, terdapat beberapa hadits yang berkaitan dengan dibolehkannya Membaca Al Qur’an untuk Mayit sebagai suatu amalan yang bermanfaat bagi Mayit tersebut. Namun hadits-hadits tersebut tidak mengandung keshahihan hukum yang pasti.

1.         Hadits tentang wasiat ibnu umar
Dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal 458 : “ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu.[3]
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hambal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang datang padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma.[4]


2.    Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak mayat yang ada disitu”.[5]
Hadits tersebut secara jelas menerangkan anjuran untuk membacakan ayat Al Qur’an untuk Mayit saat melewati perkuburan. Akan tetapi hadits tersebut adalah hadits yang palsu, berasal dari naskah Abdullah bin Ahmad bin ‘Amir dari ayahnya dari Ali Ar Ridla dari ayah-ayahnya, dipalsukan oleh Abdullah atau ayahnya sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal, dan diikuti oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (3/252), juga As-Suyuthi dalam Dzail Al Ahadits Al Maudlu’ah dan beliau menyebutkan hadits ini, dan diiku ti juga oleh Ibnu ‘Arraaq dalamTanzih Asy Syari’atil Marfu’ah. (Lihat Ahkaam Janaiz, hal 245).

3.     Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Dari jalan Yahya bin Abdullah Al-Babalti dari Ayyub bin Nahik Al-Halabi dari ‘Atha bin Abi Rabah dari Ibnu Umar Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang dari kamu meninggal, maka janganlah ditahan, dan bersegeralah untuk dikuburkan, dan bacakan di sisi kepalanya Al-Fatihah dan di sisi kakinya akhir surat Al-Baqarah dikuburnya”.[6]
Hadits diatas merupakan  hadits yang sangat lemah, karena di dalamnya terdapat dua perawi yang lemah, yang pertama adalah Yahya bin Abdullah Al-Babalti, ia perawi yang lemah. Al Azdi berkata, “Kelemahan padanya sangat jelas”. Dan Abu Hatim berkata, “Tidak dianggap”. (Al-Mughni fi Dlu’afa, 2/739). Dan yang kedua adalah Ayyub bin Nahiik Al Halabi ia dianggap lemah oleh Abu Hatim, dan Al Azdi berkata, “Matruk”. Dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat dan berkata: “Yukhti (suka salah)”. (Lisanul Mizan,1/490).



4.       Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’i, Ahmad dan ibnu Hibban
حَدَّثَنَا عَارِمٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ 
عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَال : قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ 
يَعْنِي يس
“Telah menceritakan kepada kami 'Arim, telah menceritakan kepada kami 
Abdullah bin Mubarak, telah menceritakan kepada kami At Taimi dari Abu 'Utsman,
bukan An Nahdi dari Ayahnya dari Ma'qil bin Yasar ia berkata; Rasulullah 
Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacakanlah kepada orang-orang yang 
meninggal diantara kalian yaitu surat Yaasiin." 
Banyak hadits yang berkenaan tentang hal ini, meskipun semuanya adalah hadits dhaif (lemah), sebagaimana yang dikatakan Imam Al Hafidz As Suyuthi rahhimahullah.  Akan tetapi hadis-hadis dhaif dapat dijadikan pegangan amal-amal kebajikan. Dan semua itu termasuk amal-amal kebajikan (Fadhailul a’mal).[7]
Menurut kalangan masyarakat muslim yang mengamalkan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit juga melandaskan pemahamannya pada dalil Al Qur’an yang menganggap bacaan Al Qur’an juga dikatakan sebagai do’a dan adanya dalil yang  berisi do’a untuk kaum musimin yang telah meninggal yang telah mendahului mereka yang masih hidup.
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسْتَغْفِرْ لِذَنۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَىٰكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu”.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum bacaan Al Qur’an bagi Mayit. Perbedaan pendapat seputar bacaan Al Qur’an untuk orang yang sudah meninggal ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran terhadap ayat Al Qur’an dan hadits yang  berkaitan dengan hal tersebut serta berbedanya metodologi pengistimbathan suatu hukum dari amalan tersebut.
Sebenarnya dalil yang digunakan kedua faham tersebut adalah sama, namun dalam pemahaman lebih luas, keduanya berbeda pendapat. Kalaupun ada hadits yang menyatakan dibolehkannya bacaan Al Qur’an bagi Mayit itu adalah hadits yang dha’if, tetapi sebagian ulama membolehkannya sebagai bagian dari amal kebajikan (Fadhailul A’mal).
            Berdasarkan pembahasan sebelumnya baik melalui dasar Al Qur’an dan Hadits, dapat disimpulkan bahwa dalil yang paling kuat adalah yang menyatakan tidak dibolehkannya bacaan Al Qur’an bagi Mayit karena Seseoeang hanya akan memperoleh dari apa yang telah ia kerjakan, bahkan Rasulullah dan para sahabat tidak melakukannya dan tidak termasuk dalam ajaran islam.  Wallahu a'lamu bisshowaab.




 DAFTAR PUSTAKA

            Allamah Sayyid Abdullah Haddad (1993),  Renungan Umur Manusia, Bandung : Mizan
            Amin Nugroho, M. Yusuf (2012) Fiqh Khilafiyah NU – Muhammadiyah : Seputar Tahlil.pdf.
As Suyuthi, Imam Jalaludin (1999), 400 hadits Keutamaan Amal Beserta Penjelasannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
            Efendi, Sofyan. HaditsWeb 5.0 “Kumpulan dan Referensi Belajar Hadits” 2006
            Ubaidillah, Tahlilan dan Selamatan menurut Madzhab Syafi'i, Bangil: Pustaka Abdul Muis.


[1] Muslim 975 dan Ibnu Majah 1547
[2]Muhammad Yusuf Amin Nugroho, (2012) Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah.pdf. hal. 139
[3] Mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25.  
[4] Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423
[5] Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26.
[6] HR. Ath Thabrani 12/445 no 13613) dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 9294.

[7] Imam Jalaludin As Suyuthi, 400 hadits Keutamaan Amal Beserta Penjelasannya (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999)